Lengaru : Dari Obat Tradisional hingga Bahan (Pem)Bangunan



Tun (54) masih ingat betul, jenis tumbuhan yang harus diambilnya, ketika adiknya sedang sakit perut karena mengalami gejala usus turun. Dengan tergesa, dirinya menuju hutan di belakang rumahnya, mencari tumbuhan yang dimaksud. Ia ingat betul perintah ayahnya mencari pohon besar yang berbunga putih seperti bunga pepaya, daunnya menjari, serta batang pohon yang besar menjulang tinggi.

 

Tun menemukan pohon yang dimaksud di tengah hutan. Dia mengeluarkan parang dari sarungnya lalu menguliti sedikit kulit pohon, untuk dibawa pulang ke rumah. Setelah sampai di rumah, kulit pohon ini kemudian diparut dan ditambahkan santan kelapa.

 

Ramuan ini lalu diberikan kepada sang adik dan diminum sampai habis. Rasa getir kulit pohon tersebut tidak hilang, walau sudah tercampur santan. Rutin meminum ramuan tersebut sebulan sekali, sang adik pun berangsur sembuh dari penyakit usus turunnya.    

 

Oleh masyarakat Desa Tomoli, desa tempat tinggal Tun, pohon tersebut dikenal dengan sebutan Lengaru. Tun menceritakan, menurut cerita lokal di tempatnya, Lengaru memiliki khasiat utama menyembuhkan usus turun, akan tetapi tidak hanya itu, Lengaru ini juga mempunyai khasiat lain, yakni juga bisa menjadi obat untuk sakit kepala, menambah stamina, atau obat untuk badan pegal-pegal.

 

Sejalan dengan berbagai khasiatnya, ramuan Lengaru ini memiliki aturan pakai, yang hanya boleh dikonsumsi sebulan sekali, karena memiliki efek samping bisa merusak organ dalam tubuh, jika dikonsumsi secara berlebihan.

 

Pohon lengaru ini sendiri juga memiliki sebutan lain yaitu Pohon Kayu Telur. Zubair, Samsurizal M. Suleman dan Ramadhanil, dalam artikel di Jurnal Biocelebes volume 13 No.2 Agustus 2019, berjudul Studi Etnobotani Tumbuhan Obat Pada Masyarakat Kaili Rai di Desa Wombo, Kecamatan Tanantovea Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, menyebut, Lengaru memiliki nama lain Alstonia scholaris, yang tergolong ke dalam kelompok Apocynaceae, yakni salah satu suku anggota tumbuhan berbunga. Zubair dkk. menjelaskan, Lengaru ini memiliki khasiat sebagai obat sakit gigi, dengan cara diambil getahnya dan diteteskan ke bagian yang sakit.

 

Wahyu Candra, dalam tulisan di Mongabay dengan judul ‘Begini Kearifan Lokal Pengelolaan Hutan untuk Pengobatan di Desa Pakuli Induk Sigi’, menjelaskan cara lain pengolahan kulit pohon Lengaru sebagai obat. Kulit luar Lengaru ini dikupas lalu dicacah kecil-kecil. Khasiatnya bermacam-macam, mulai dari sakit kepala, haid yang tidak lancar, kista, ginjal dan beragam penyakit lainnya.

 

Pawan Kaushik, Dhirender Kaushik, Neha Sharma, dan A.C. Rana, dalam tulisan berjudul Alstonia scholaris: It’s Phytochemistry and pharmacology, yang diterbitkan Chronicles of Young Scientists Vol. 2, Issue 2, April-Juni 2011, menyebutkan, Alstonia scholaris adalah pohon tropis yang selalu hijau yang berasal dari anak benua India dan Asia Tenggara, memiliki kulit kasar keabu-abuan dan getah susu yang kaya akan alkaloid beracun. Tanaman ini adalah tanaman asli India, Sri Lanka, Pakistan, Nepal, Thailand, Burma, Malaysia, Asia Tenggara, Afrika, Australia Utara, Kepulauan Solomon, dan Cina Selatan.

 

Tulisan tersebut juga menyebutkan, tanaman ini adalah pohon cemara besar, tumbuh setinggi 17-20 m, dengan batang yang lurus sering bergalur dan ditopang, dengan diameter sekitar 110 cm. Kulit coklat keabu-abuan, kasar, rasa pahit dalam getah. Daun berukuran 4-7 dalam bentuk bulat, coriaceous, elips-lonjong. Bunganya kecil, beraroma sangat kuat. Buah memiliki folikel, panjang 30-60 cm. dengan rambut kecoklatan di setiap ujungnya.

 

Kulit kayu, juga disebut kulit kayu dita, yang secara tradisional digunakan oleh banyak kelompok etnis di India Timur Laut dan bagian lain dunia, sebagai obat infeksi bakteri, demam malaria, sakit gigi, rematik, gigitan ular, disentri, gangguan mangkuk, dan lain-lain. Getahnya juga digunakan untuk mengobati batuk, luka dan demam.

 

Tulisan itu juga menyebutkan, Alstonia scholaris telah digunakan dalam sistem pengobatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit. Buah-buahan matang tanaman ini digunakan dalam pengobatan sifilis dan epilepsy, juga digunakan sebagai tonik, antiperiodik, dan anthelmintik. Getah Alstonia scholaris juga digunakan untuk mengobati bisul.

 

Kemudian, kulitnya adalah bagian tanaman yang paling intensif digunakan dan digunakan dalam banyak formula herbal campuran, sebagai obat penurun panas dan bermanfaat dalam pengobatan malaria, diare, dan disentri. Baru-baru ini, ekstrak daun juga ditemukan memiliki sifat antimikroba. Alstonia scholaris juga telah dilaporkan menghambat cedera hati yang disebabkan oleh karbon tetraklorida, beta-d-galactosamine, acetaminophen, dan etanol, seperti penurunan kadar transaminase serum dan perubahan histopatologis seperti perubahan sel nekrosis dan infiltrasi sel inflamasi.

 

Secara historis, tanaman ini secara ilmiah dinamai oleh Linnaeus, dengan nama Echites scholaris. Namun, untuk memperingati ahli botani besar, Profesor C. Alston, nama generik diubah menjadi Alstonia, sedangkan nama spesies scholaris dipertahankan, untuk menunjukkan penggunaannya di sekolah-sekolah di Asia Tenggara, di mana kayu secara tradisional digunakan untuk membuat papan tulis dan papan tulis kayu. Dalam bahasa Sanskerta, tanaman ini disebut sebagai phalagaruda, sapthaparna, dan saptaparni (sapta berarti 7 dan parna atau parni berarti daun).

 

Tun (54) menjelaskan, pohon ini dahulunya banyak tumbuh liar di hutan, sebelum hutan mengalami perambahan, untuk dijadikan kebun-kebun milik masyarakat, yang kemudian menjadi penyebab menurun drastisnya populasi pohon ini. Selain ditebang untuk pembukaan lahan kebun, pohon yang menjadi bahan dasar obat ini, biasanya banyak digunakan masyarakat untuk membangun rumah berbentuk semi permanen. Sampai sekarang, walaupun belum punah, pohon ini masih bisa ditemukan di perkebunan warga, dan pinggiran jalan setapak menuju perkebunan masyarakat.  

 


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer