Edukasi Bencana Lebih Penting Dari Tanggul
Profesor geosains dari Brigham Young
University, Amerika Serikat, Ronald Albert Harris mengkritisi pembangunan
coastal protection dan elevated road di Teluk Palu. Menurutnya, pendidikan
mitigasi bencana jauh lebih penting dan murah, daripada membangun tanggul yang
sangat mahal biayanya.
“Tanggul bukanlah solusi menghadapi tsunami sedangkan
edukasi adalah hal utama dalam identifikasi resiko bencana,” ujar Prof Ron A.
Harris, saat menjadi narasumber pada Seminar Internasional Geologi dengan tema
Disasters Adaptation Readiness In The 20-10-20 Scheme, Rabu (27/11/2019), di
Aula FUAD IAIN Palu. Seminar internasional ini diinisiasi oleh Dekan FUAD IAIN Palu, Dr. Lukman S. Thahir, M.Ag.
Dirinya menyebutkan, edukasi sebagai hal utama dalam identifikasi
resiko bencana, dapat dilakukan melalui empat hal, yakni mempelajari sejarah
kebencanaan, geologi, juga membaca seismograf dan sesar aktif. Kemudian ada
tiga hal yang dilakukan dalam resiliensi bencana atau kemampuan/ketangguhan
menghadapi bencana, yakni mempelajari sejarah kebencananaan di tempat tinggal
kita, memperbaiki kesalahan yang terjadi, serta jangan mengulang kesalahan yang
sama.
Misalnya untuk upaya mitigasi tsunami Palu kata dia, banyak
papan penanda jalur evakuasi yang tidak sesuai, karena menurutnya, titik kumpul
harusnya lebih jauh ke daratan. Rambu evakuasi tersebut kata dia, juga harus
dibuat lebih sederhana penyampaiannya, agar warga dapat lebih memahami.
“Misalnya untuk tsunami Palu dengan skema 10-10-20, yakni
saat gempa terjadi lebih dari 10 detik, segera mengevakuasi diri dengan
estimasi 10 menit antara waktu gempa dan tsunami, dengan mencari tempat yang
tinggi, minimal 20 meter dari permukaan pantai,” ujarnya.
Prof. Harris juga tercengang, saat mengetahui bahwa IAIN
Palu, sebagai kampus yang terletak di bibir Teluk Palu, belum pernah
melaksanakan simulasi bencana bagi sivitas akademikanya, pascabencana 28
September 2018. Hal ini membuat dirinya usai seminar, mengajak sivitas
akademika IAIN Palu untuk mempraktekkan skema 10-10-20 tersebut di area
kampus.
“Hal yang penting dalam edukasi kebencanaan adalah mendengarkan
suara alam, suara orang-orang, serta membantu orang-orang mendengarkan suara alam.
Kota cerdas bukanlah kota melek teknologi, melainkan kota tangguh bencana,”
ujarnya.
Edukasi kebencanaan kata dia, merupakan bagian dari strategi
menyelamatkan nyawa manusia saat bencana, dengan menentukan siapa yang paling
beresiko, komunikasi resiko, juga implementasi strategi pengurangan
resiko. Dengan adanya gap antara peneliti dan masyarakat bisa, dirinya meminta
bantuan kalangan masyarakat yang telah mengetahui upaya mitigasi, untuk
mengkomunikasikan resiko tersebut kepada masyarakat, sebagaimana dirinya
membantu mentransfer pengetahuan dan hasil penelitiannya tentang hal tersebut.
JEF
Komentar
Posting Komentar