Masjid Al Hidayah: Upaya Merawat Memori


FOTO: Bangunan yang tersisa dari masjid tua Al Hidayah
Bila anda pernah berhenti di simpang empat traffic light antara Jalan Dr. Wahidin dan Jalan Kimaja, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, tampak di seberang jalan sebuah bangunan tua menyerupai masjid, yang kini tersisa tinggal tiang dan kubahnya yang usang dimakan karat. Jika dilihat dari dekat, di sekeliling bekas bangunan tersebut, masih tersisa bekas lantai cor semen.

Pada bagian sebelah barat, terdapat bekas mihrab, sementara di sebelah utara, terdapat sebuah sumur yang sudah kering dan penuh dengan sampah. Sisa bangunan ini, merupakan bukti berdirinya sebuah masjid yang dikenal dengan nama Masjid Al-Hidayah di lokasi tersebut. Memori tentang masjid ini, terekam kuat dalam ingatan masyarakat Besusu. Bagaimana memori masyarakat Besusu tentang masjid ini?


Tokoh masyarakat Kelurahan Besusu Barat, Makmur Dg. Sau, Minggu (8/3/2020), saat menjelaskan tentang sejarah masjid tersebut, menyebut sosok Tanigau. Siapa Tanigau?
Menurut cerita yang diturunkan kepada Makmur, Tanigau merupakan salah seorang tokoh yang berperan besar dalam memulai inisiasi pembangunan tempat ibadah bagi umat muslim di Besusu, pada sekira tahun 1891. Tanigau alias Pua Kate, mewakafkan tanahnya untuk pembangunan tempat ibadah berbentuk surau atau langgar, dengan menantunya yakni Sayyid Muhammad Amin bin Baharullah Bafagih bergelar Karaeng Loroloro, sebagai pemrakarsa pembangunan.

Jefrianto dalam Merawat Nilai Sejarah Masjid Al Hidayah menjelaskan, Tuan Sayyid Muhammad Amin bin Baharullah Bafagih sendiri, diketahui merupakan anak dari Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, mubaligh yang berasal dari Cikoang, Makassar. Sayyid Bahrullah Bafaqih Al Aidid, bersama Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid, diperkirakan bermigrasi ke wilayah Palu, tepatnya di wilayah Boyantongo (sekarang wilayah Kelurahan Baru), pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840.

Tanigau sendiri kemudian menjadi imam pada saat itu, sementara Karaeng Loroloro yang digelari dengan gelar tersebut karena sering mengenakan pakaian dengan motif garis-garis, lebih sering berdakwah ke luar. Makmur sendiri mengatakan, dirinya merupakan keturunan keempat dari Tanigau.

Dari Langgar ke Masjid: Sejarah Masjid Al-Hidayah
Tempat ibadah yang dibangun oleh Pua Kate dan Karaeng Loroloro pada masa itu berukuran lebih kecil dari masjid pada umumnya, atau biasa disebut surau/langgar. Langgar ini diklaim merupakan masjid pertama di wilayah Besusu.

Langgar ini terletak tidak jauh dari tepi sungai Palu, beberapa ratus meter dari tepi sungai Palu, yang kini dilalui Jembatan Palu III. Kini, tempat bekas langgar itu, telah berdiri bangunan lain.

Karena sering dilanda banjir dari Sungai Palu, langgar ini kemudian dipindahkan. Tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai langgar ini, selain tempat, waktu didirikan, pendiri, dan penyebabnya untuk pindah. Kemudian pada 1930, dibangun sebuah masjid pengganti langgar tersebut, di lokasi yang saat ini terletak di simpang empat antara Jalan Ki Maja, Jalan Soeharso, Jalan Haji Hayyun, dan Jalan Dr. Wahidin. Masjid tersebut berdiri di atas tanah yang diwakafkan oleh Parigimpu. Pembangunan masjid baru ini dipelopori oleh tokoh yang sama, yakni Tanigau, bersama anak kandung dan menantunya, yakni Lawadi dan Karaeng Loroloro.

Pembangunan masjid ini melibatkan lima Boya (kampung) yang ada di Besusu, yakni Boya Masigi, Boya Vunta, Boya Karampe, Boya Polabea, dan Boya Toiranggi. Pelibatan lima Boya ini, dimaksudkan untuk mempersatukan masyarakat sekitar, dengan prinsip gotong royong. Meski tidak punya hak atas tanah tempat masjid akan dibangun, lima Boya tersebut dilibatkan dalam upaya penyediaan material pembangunan masjid, sehingga masjid ini merasa dimiliki secara bersama-sama.

Masjid inilah yang dikenal dengan nama masjid Al-Hidayah, yang kini tersisa hanya tiang dan kubahnya saja. Tembok masjid roboh saat gempabumi 28 September 2018. Masjid ini kemudian sengaja dirobohkan hingga menyisakan tiang penyangga kubah dan bekas mihrab, ketika ada rencana untuk melakukan revitalisasi masjid, yang hingga kini mandeg. pada bagian sudut lahan tempat masjid berdiri, pernah berdiri sebuah menara, yang digunakan sebagai tempat muadzin untuk mengumandangkan adzan.

FOTO: Bekas pondasi menara masjid tua Al Hidayah

Uniknya, sebagaimana keterangan Makmur, muadzin mengumandangkan adzan dari pucuk menara dengan cara berputar 360 derajat. Cara ini digunakan, karena di masa itu listrik belum masuk dan pelantang belum ada. pada bagian samping masjid, terdapat sebuah sumur timba dengan kedalaman kurang lebih 5 meter, yang digunakan untuk thaharah (bersuci).

Masjid Al Hidayah dan Memori Orang Besusu
Berdasarkan pengalaman Makmur, pada tahun 1960 hingga 1970-an Masjid Al-Hidayah masih menjadi pusat peribadatan umat muslim di wilayah Besusu dan sekitarnya. Masyarakat dari wilayah lain, seperti Lolu hingga Tatura misalnya, datang ke masjid Al-Hidayah untuk menunaikan salat Jumat.

“Karena pada waktu itu baru ada 1 masjid. Mereka datang melewati jalan setapak, sehingga waktu salat Jumat, full sisi kiri kanan masjid. Oleh karena itu, sekitar tahun 1970-an, renovasi dilakukan dengan menambah dinding bagian depan, dan memugar pagar luar menjadi dinding, agar jamaah yang masuk, bisa lebih banyak,” jelasnya.

Pengalaman Makmur yang lain tentang Masjid Al-Hidayah adalah peristiwa pemberontakan Perdjuangan Rakjat Semesta (Permesta) tahun 1957. Dirinya mengisahkan, pada bagian belakang masjid, pernah ada sebuah bunker, yang digunakan sebagai tempat berlindung dari bom, yang dijatuhkan oleh pesawat Permesta.

“Kayak kelinci kita di dalam (bunker red.). Keluar kepala, lihat pesawat, masuk lagi, bergetar tanah,” ujar Makmur.

FOTO: Masjid tua Al Hidayah sebelum bencana 28 September 2018

Menurut Makmur, hingga saat ini, terdapat 10 orang yang pernah menjadi imam, yakni Tanigau alias Pue Kate, Lawadi, Sayyid Mohammad Amin alias Karaeng Loroloro, Abdul Rahim alias Taraju, Ikhsan alias Dumu, dan Masjidin alias Karampe ri Tua. Sementara untuk masjid Jami’ Al-Hidayah yang kini terletak di Jalan Mulawarman, diimami oleh Wahjudin Lodjowono, Marman Tamongga, Ahmad Yunus, dan Astaman. Pergantian imam pada umumnya bukan karena wafat, melainkan disebabkan oleh faktor usia, yang tidak memungkinkan lagi untuk memimpin salat berjamaah di masjid. Makmur sendiri mengingat, ia mendapati masa imam Ikhsan alias Dumu di tahun 1950-an.

Nasib Masjid Tua Al-Hidayah
Masjid tua  tersebut, kini perannya digantikan oleh masjid berukuran lebih besar dengan nama yang sama, di Jalan Mulawarman, yakni Masjid Jami’ Al-Hidayah. Sejak tahun 2002, masjid tua Al-Hidayah sudah ditinggalkan dan ibadah salat umat Islam yang tinggal di Besusu dan sekitarnya, dialihkan ke masjid Jami’.

Masjid Jami’ Al Hidayah mulai didirikan pada Januari 1977. Saat itu dilakukan prosesi peletakan batu pertama, yang dilakukan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, A.M. Tambunan.

Pembangunan masjid Jami’ Al-Hidayah berlangsung cukup lama. Oleh karenanya, beberapa tahun setelah peletakan batu pertama yang dilakukan oleh Gubernur Tambunan, atas inisiatif beberapa masyarakat Besusu, di bawah komando Rusli Sumaginda, digerakkan sekitar 1000 orang untuk terlibat. Setiap bulannya, tiap keluarga dimintai sumbangan sekitar Rp1.000, untuk biaya material dan logistik pembangunan masjid. Selain turut membantu dari segi material, warga sekitar juga turut ikut bekerja gotong royong setiap hari Sabtu dan Minggu, untuk mempercepat perampungan Masjid Jami’ Al-Hidayah.

Selain masyarakat Besusu, tak banyak masyarakat Kota Palu yang mengetahui sejarah Masjid Al-Hidayah di Besusu ini. Padahal, keberadaan sebuah masjid merupakan salah satu penanda peradaban dan syiar Islam di sebuah wilayah. Karena termasuk dalam wilayahnya, maka pemeliharaan ingatan atas sejarah masjid, termasuk masjid tua Al-Hidayah, menjadi penting bagi khazanah sejarah Kota Palu.

Beberapa waktu lalu, kubah masjid tua yang telah mengalami korosi itu, pernah diajukan untuk ditetapkan menjadi warisan cagar budaya; tetapi gagal. Namun, merawat aset bersejarah dapat dilakukan secara bersama-sama, tanpa perlu menunggu keluarnya surat ketetapan dari pemerintah, bukan?

Penulis: 1. Adi Setiawan (mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah FKIP Untad)
             2. Iin Dzulfaidzah (mahasiswa Jurusan SPI IAIN Palu, Ketua Umum HMJ SPI) 

Editor: Jefrianto

Komentar

Postingan Populer