Tradisi Orang Kaili Saat Ditinggal Berhaji

FOTO: Aktivitas berhaji menggunakan kapal layar di masa lalu. FOTO: DOK. Ahmad Fauzan Baihaqi 

Setiap daerah pasti memiliki kearifan lokal tersendiiri, saat anggota keluarganya pergi melakukan ibadah haji ke Tanah Suci. Ibadah yang merupakan bagian dari Rukun Islam tersebut, dikenal juga sebagai Idul Adha atau Idul Qurban, yang diperingati setiap tanggal 10 Dzulhijjah, menurut penanggalan kalender Islam.

Dahulu, pergi berhaji akan menghabiskan waktu berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. Hal tersebut dikarenakan transportasi menuju Tanah Suci, waktu itu masih menggunakan kapal laut, yang mengharuskan anak buah kapal melego sauhnya di berapa pelabuhan yang disinggahi.

Ahmad Fauzan Baihaqi, dalam Pelayaran Angkutan Jamaah Haji di Hindia Belanda (tahun 1911-1930) menjelaskan, aktivitas perjalanan haji dari nusantara, sangat tergantung aktifitas pelayaran bagi jamaah haji, untuk menumpang kapal-kapal menuju ke Pelabuhan Jeddah.

Sepanjang sejarah, perjalanan kapal-kapal yang membawa jamaah haji sejak dahulu selalu mengalami hambatan dan tantangan. Pada periode-periode abad pertengahan, diketahui pelayaran haji dari nusantara ke Hijaz, pada umumnya ditempuh dengan menumpang kapal-kapal layar niaga, baik milik domestik maupun milik orang-orang asing, seperti kapal orang-orang Arab. Masa itu kapal niaga nusantara telah menunjang kapal-kapal pelayaran, yang sering digunakan muslim untuk berlayar ke Hijaz.

Ahmad Fauzan Baihaqi menulis, memasuki abad ke-18, lalu lintas pelayaran antara nusantara dan Samudera Hindia mulai di dominasi kapal-kapal jenis Galleon dan Frigate, milik perniagaan Eropa. Konsekuensinya ialah kepada calon jamaah haji kadang harus berlayar menaiki kapal-kapal milik VOC dari Batavia menuju Teluk Aden, sebelum ke Jeddah. Kondisi ini kemudian problematis, karena adanya larangan bagi kapal-kapal Belanda mengangkut para jamaah haji, sesuai Besluit van 4 Augustus 1716. Bagi pribumi, hal ini menyulitkan. Oleh karena itu, para jamaah berinisiatif untuk menumpang kapal-kapal niaga secara sembunyi-sembunyi, dari pelabuhan satu ke pelabuhan lainnya, atau mengoptimalkan kapal-kapal milik saudagar Arab, yang sering memberikan tumpangan.

Menurut beberapa laporan yang dihimpun oleh Ahmad Fauzan Baihaqi, pelayaran dari Nusantara menuju Semenanjung Arab pada masa kapal layar, membutuhkan waktu 5-6 bulan, itupun sudah termasuk transitnya. Perjalanan laut ini pun harus memahami kondisi cuaca atau musim angin bertiup, untuk kelancaran pelayaran kapal laut. Bahaya yang selalu menghantui dalam pelayaran kapal adalah badai dan ombak tinggi.

Sementara itu, merujuk laporan perjalanan Abdullah Kadir Al-Munsyi pada tahun 1854, untuk perjalanan kapal layar memakan waktu 3 bulan untuk ke Jeddah, bila dari pelabuhan Singapura, tetapi bila menumpang kapal dari pelabuhan Batavia atau pelabuhan di sekitarnya, memakan waktu lebih lama, tergantung waktu transit di tiap-tiap pelabuhan, untuk berganti kapal, karena kapal layar saudagar Arab yang menuju pelabuhan Jeddah, lebih banyak tersedia di pelabuhan Singapura.

Sepanjang abad ke-19 kapal-kapal layar masih tetap eksis digunakan untuk pelayaran, namun secara kapasitas sering kesulitan untuk menampung jamaah haji, yang setiap tahun terus membludak. Setelah Terusan Suez dapat dibuka tahun 1869, persaingan dagang semakin meningkat, ditandai evolusi perkapalan ke kapal uap dan menjadi tanda kemajuan transportasi haji, dari kapal layar berganti dengan kapal uap. Karena itu, pemerintah kolonial tahun 1873 memutuskan turut serta dalam pengangkutan haji, yang bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan pelayaran Belanda, yaitu Rotterdamasche Llyod, Mij Nederland dan Mij Oceaan.

Haji Dalam Tradisi Kaili

Bagi orang Kaili, ada beberapa aktivitas yang dilakukan saat keluarganya pergi berhaji. Mulai dari pembacaan doa sebelum keberangkatan, kemudian pembacaan doa selamat serta Barzanji di setiap malam Jumat, selama jamaah haji tersebut masih berada di Tanah Suci.

Sekembalinya anggota keluarganya di rumah, dibuatlah hajatan atau doa selamat. Tempo tersebut merupakan momen yang sangat dinanti. Pada waktu itulah, akan dibagikan berbagai buah tangan yang dibawa dari Tanah Suci kepada handai taulan yang hadir.

Selain itu, orang Kaili kerap melakoni beberapa kearifan lokal saat ditinggal berhaji oleh keluarganya. Hakekatnya, apa yang mereka lakukan, tujuannya untuk terus mengingat dan mendoakan keluarganya yang sedang beribadah di tanah para nabi.

Saat ditinggal berhaji, orang Kaili akan membuat penggalan tulisan kalimat Syahadat. Penggalan pertama diibawa serta oleh jemaah haji ke Tanah Suci, sedangkan penggalan lainnya ditinggal di rumah. Ada juga budaya menanam tunas kelapa oleh keluarga yang ditinggalkan. Konon, kondisi tunas kelapa itu akan menggambarkan keadaan keluarga mereka yang sedang berhaji. Bila tunas kelapa itu tumbuh subur, maka sang jemaah haji akan lancar-lancar saja saat beribadah, sebaliknya justru tunas kelapa tersebut menjadi layu, hal itu menggambarkan sejumlah kendala yang dialami anggota keluarganya di Tanah Suci.

Beberapa tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Kaili terkait haji tersebut, identik dengan tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat Bugis. Masyarakat suku Bugis juga melakukan ritual tradisi seperti membawa dan menyimpan penggalan kalimat syahadat, serta menanam tunas kelapa.

Identiknya tradisi kedua entitas masyarakat ini, sebenarnya merupakan bukti akulturasi budaya antara Kaili dan Bugis. Akulturasi ini sendiri, juga terkait dengan proses Islamisasi kepada masyarakat Kaili oleh para pedagang dan mubaligh Bugis pasca periode penyebaran Islam oleh Dato Karama di abad ke -18 dan 19. Bukti akulturasi lainnya dapat dilihat dari cara mengaji yang mengadopsi cara mengaji Bugis.

Akulturasi kedua kebudayaan ini sebenarnya merupakan bagian dari proses ideologisasi Islam di masyarakat suku Kaili, oleh para pedagang dan mubaligh Bugis. Menurut Geertz, agama adalah sistem kepercayaan yang di dalamnya meliputi aspek-aspek budaya, moral, hukum, dan sebagainya. Agama adalah sistem budaya, yang karenanya agama terdiri atas berbagai simbol sosio-kultural yang memberikan suatu konsepsi tentang realitas dan menafsirkan rencana untuknya. Simbol-simbol sosio-kultural dalam agama, utamanya Islam inilah, yang ditanamkan oleh orang-orang Bugis yang berdiaspora ke Sulawesi Tengah, secara ideologis kepada masyarakat lokal, yang menjadikan Islam sebagai model mengenai realitas dalam pemahaman dan pengamalan masyarakat sebagai realitas sosial.    

 


Komentar

Postingan Populer