Membaca Dato Karama Lewat Politik Memori
Pengantar
Ingatan masyarakat tentang masa lalu seringkali menjadi hal
yang menarik untuk ditelaah. Ingatan (baca: memori) tersebut adalah hasil
“pembacaan” masyarakat terhadap suatu momen atau peristiwa. Untuk mengkaji
lebih jauh mengenai ingatan sosial yang yang terdapat di masyarakat, dibutuhkan
sebuah pendekatan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah politik
memori. Politisasi memori dapat dilihat dari adanya simbolisasi sebuah moment,
peristiwa, atau tokoh dengan wujud kebendaan, pola pewarisan memori, mengingat
dan melupakan, dan pematahan ingatan.
Satu hal yang tidak diketahui oleh banyak orang, bahwa
setiap pembangunan atau penamaan sebuah simbol difungsikan untuk mengingat
peristiwa, atau tokoh yang memiliki pengaruh yang luas di daerah tersebut.
Namun, pada akhirnya, peristiwa-peristiwa dan tokoh-tokoh penting di
sekitar peristiwa atau tokoh utama menjadi tidak tersampaikan.
Persoalan ingatan merupakan persoalan pokok
dalam konsepsi politik memori. Dalam pembacaan peristiwa atau ketokohan, ada
ingatan yang terbelah, karena pada saat yang bersamaan, orang akan mengingat
dan melupakan sesuatu tanpa disengaja.
Sejarah lokal Sulawesi Tengah sebagai sebuah manifestasi
dari ingatan masyarakat mengenai peristiwa dan tokoh, belum sepenuhnya menghadirkan
masa lalu sebagai suatu kesatuan yang utuh. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola
pewarisan ingatan yang berkembang di masyarakatnya. Budaya bertutur yang
berkembang di Sulawesi Tengah menjadi sebuah alasan mengapa sejarah lokal
Sulawesi Tengah masih sulit untuk menjadi satu kesatuan yang utuh. Belum ada
penulisan secara menyeluruh tentang konteks kelokalan Sulawesi Tengah
tersebut.
Tuturan-tuturan yang ada belum sepenuhnya berubah menjadi
bahasa tulis. Keyakinan yang paling mendasar akan pentingnya tuturan diubah
menjadi bahasa tulis adalah bahwa tulisan lebih lama untuk dinikmati, daripada
tuturan. Tuturan biasanya berakhir bersama dengan penuturnya. Olehnya itu,
tuturan perlu dituliskan oleh para penulis dari disiplin ilmu manapun.
Dalam setiap tuturan yang dituturkan, biasanya selalu
diliputi dengan selubung pemitosan di dalamnya. Pemitosan ini terjadi sebagai
penanda bahwa keadaan alam pikiran masyarakat belum mampu merasionalkan
peristiwa yang terjadi. Keadaan ini menjadikan sebuah peristiwa sejarah berada
di ambang batas antara mitos dan realita.
Salah satu contoh pemitosan dalam sejarah lokal Sulawesi
Tengah adalah proses kedatangan Syekh Abdullah Raqie, atau yang lebih dikenal
dengan gelar Dato Karama di lembah Palu untuk menyiarkan Islam. Dato Karama
datang ke Sulawesi Tengah pada abad ke 17. Dato Karama adalah seorang ulama
dari tanah Sumatera, Minangkabau. Dato Karama memiliki nama lengkap Syek
Abdullah Raqie. Masyarakat Sulawesi Tengah lebih mengenalnya dengan Dato
Karama. Sebagai seorang penyebar agama Islam pertama di tanah Kaili.
Ada dua versi kedatangan Dato Karama ke Sulawesi
Tengah. Pertama, dari Ternate melalui Parigi ke Palu.[1] Ada dua
jalur yang dapat dilihat dari sini. Dato Karama datang melalui Ternate ke
Banggai lalu ke Parigi dan kemudian ke Palu. Jalur lainnya yaitu melalui
Ternate, Gorontalo, Buol, Teluk Tomini, Parigi dan berakhir di Kota Palu. Kedua,
Dato Karama tiba di Sulawesi Tengah langsung dari Sumatera. Ia datang ke Teluk
Palu dengan menggunakan perahu bersama pengikut-pegikutnya kurang lebih lima
puluh orang. Perjalanan Dato Karama meninggalkan Sumatera disebabkan oleh suatu
pertikaian antara keluarga, mereka meninggalkan tanah kelahirannya dan
bermaksud menyebarkan agama Islam disebelah Timur.[2]
Masa kedatangan Dato Karama ke Lembah Palu bersamaan dengan
tiga orang Datuk yang juga datang dari tanah Minangkabau. Ketiga orang Datuk
itu terdiri dari Datuk Ri Bandang, Datuk Di Tiro dan Datuk Patimang. Mereka
datang ke timur Indonesia merupakan utusan dari Sultan Iskandar Muda (Aceh)
dengan tujuan menyiarkan Islam di wilayah timur Nusantara.[3] Kedatangan
mereka menuju Sulawesi tepatnya di Sulawesi Selatan. Di daerah ini mereka
berpisah dengan tujuan membagi daerah syiar masing-masing. Datuk Ri Bandang
menuju daerah Gowa, Takalar, Jeneponto dan Bantaeng. Datuk Patimang mendapat
daerah Luwu, Suppa, Soppeng dan Wajo. Sedangkan Datuk Ri Tiro menuju ke daerah
Bulukumba, Tiro, Bantaeng dan Tanete.
Berbeda dengan ketiga datuk diatas yang datang tidak membawa
sanak saudara, Dato Karama datang ke Sulawesi Tengah membawa serta istri yang
bernama Ince Jille, iparnya bernama Ince Saharibanong, dan seorang anaknya
bernama Ince Dingko. Kedatangan Dato Karama beserta rombongan jelas menjadi
pertanyaan bagi masayarakat Sulawesi Tengah, terutama masyarakat Lembah Palu
yang merupakan daerah awal yang dipijaki oleh tokoh Islam ini. Tidak dapat
dipungkiri hingga saat ini masyarakat selalu menghubungkan peristiwa mistis
dengan kedatangan sang tokoh Islam tersebut. Nama Dato Karama diberikan oleh
masyarakat Sulawesi Tengah untuk menandai peristiwa aneh ini. Ia datang
menggunakan perahu berjenis Kora-Kora. Mereka datang dengan alat-alat
kebesarannya seperti Bendera Kuning, Panji Orang-Orangan, Puade, Jijiri, Bulo, Gong,
dan Kakula (Kulintang).
Dato Karama tiba di Lembah Palu disambut oleh seorang raja
Kabonena bernama Parasila atau Pue Njidi dan seorang bangsawan lembah Palu
bernama I Moili atau Pue Bongo. Data Karama beserta rombongan disambut baik di
Lembah Palu. Bersama Pue Njidi dan Pue Bongo, Dato Karama mulai menjelaskan
maksud kedatangan dan memberitahu tentang Islam. Meski diperkirakan Islam telah
mulai berkembang saat Dato Karama tiba di Palu. Kedua orang diataslah yang
pertama memeluk Islam di Lembah Palu. Kabar berita masuknya Islam kedua
bangsawan ini begitu cepat tersebar di masyarakat Lembah Palu dan akhirnya
masyarakat mengikuti jejak keduanya. Sambutan hangat masyarakat kota Palu
diterima oleh keturunan Minangkabau tersebut.
Proses perkembangan kegiatan Islam yang dilakukan oleh Dato
Karama berpusat pada sebuah Surau atau Langgar. Surau atau Langgar didirikan
atas dukungan masyarakat (penduduk) sekitar. Sejalan perkembangannya Surau
berubah menjadi Masjid setelah diadakan renovasi terhadap bangunan dan
perluasan dalam maupun halaman Masjid. Masjid peninggalan ini diberi nama
masjid Jami’ dan berada di wilayah kelurahan Kampung Baru sekarang di Kota
Palu. Inilah pusat aktivitas penyebaran Islam di Lembah Palu pada waktu itu.
Hingga kini mesjid itu masih berdiri gagah nan megah di Kampung Baru dan
menjadi kebanggaan Kota Palu. Mesjid ini sudah beberapa kali mengalami renovasi
dan hingga kini masih tegak berdiri.
Selain bukti jejak Islam yang dibawa oleh Dato Karama,
Mesjid Jami’ juga merupakan bukti begitu terbukanya masyarakat kota Palu dengan
orang asing seperti Dato Karama. Apalagi Dato Karama sering dihubungkan dengan
peristiwa mistis. Hal ini dapat dilihat dari gelar yang diberikan oleh
masyarakat Lembah Palu terhadap tokoh Penyiar Islam di Sulawesi Tengah ini.
Datu Karama memiliki arti Datuk Keramat dengan nama asli Abdullah Raqie dengan
gelar Syekh menjadi Syekh Abdullah Raqie. Keramat yang dimaksud masyarakat
jelaslah berhubungan dengan kedatangan dan asal usulnya yang misterius. Teka
teki kedatangan dan asal usul Dato Karama masih terus berkembang dalam
masyarakat Kota Palu.
Kemisteriusan tokoh yang satu ini disebabkan oleh belum
adanya kajian menyeluruh tentang sosoknya. Hal ini dikarenakan kehadirannya
sebagai penyebar islam di lembah Palu diselubungi dengan berbagai pemitosan.
Cerita berselubung mitos itulah yang kemudian dituturkan secara turun temurun
kepada masyarakat. Pola pewarisan ingatan melalui tuturan inilah yang
melanggengkan selubung misteri pada kisah sang ulama penyebar islam tersebut.
Lewat penuturan tersebutlah, sosok Dato Karama dikenal oleh
masyarakat Sulawesi Tengah sebagai ulama yang pertama kali menyebarkan islam di
lembah Palu. Gelar “karamah” yang melekat pada dirinya adalah bukti pewarisan
ingatan yang dilakukan oleh masyarakat sejak turun temurun. Namun, pola
pewarisan ingatan lewat tuturan inirentan terhadap proses pelupaan terhadap
sebagian atau mungkin seluruh cerita di sekitar peristiwa utama.
Indikasi ini muncul karena belum ada kajian menyeluruh
tentang sosok Dato Karama yang menghadirkan sosoknya secara utuh, terlepas dari
berbagai pemitosan yang melekat pada sosoknya. Hal ini penting sebagai upaya
untuk merawat ingatan tentang peristiwa-peristiwa di sekitar sosok dato Karama
tersebut.
Menurut Haliadi Sadi, periode kedatangan Dato Karama untuk
menyiarkan islam di lembah Palu adalah periode mitologis dalam sejarah
perkembangan islam di lembah Palu khususnya, dan Sulawesi tengah pada umumnya.
Ia membagi periodisasi perkembangan islam menjadi tiga periode yaitu periode mitologi,
periode ideologi dan periode ilmu pengetahuan. Periodisasi tersebut muncul
sebagai hasil pengamatannya terhadap aktor penyebaran islam dan
tinggalan-tinggalan yang dihasilkan di setiap periode.
Kehadiran Dato Karama dalam sejarah lokal Sulawesi Tengah
dimanifestasikan pula dalam bentuk simbolisasi. Simbolisasi ini adalah upaya
untuk merawat ingatan terhadap sosok tersebut. Upaya merawat ingatan tersebut
dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara yang paling sering dilakukan
adalah dengan menyematkan nama sang tokoh sebagai simbol suatu pada gedung,
jalan, hingga taman.
Penyematan nama Datokarama sebagai simbol penanda pada
beberapa tempat di Kota Palu merupakan manifestasi dari pola pewarisan memori
yang dilakukan secara turun-temurun. Pola tersebut menyebabkan ingatan tentang
tokoh tersebut menjadi langgeng. Namun, peristiwa-peristiwa penting di
sekeliling tokoh kadang menjadi tidak tersampaikan.
Sejauh ini sudah ada tiga tempat yang menggunakan nama tokoh
tersebut sebagai simbolnya. Tiga tempat tersebut antara lain adalah Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Datokarama, yang kini telah berubah menjadi
IAIN Palu, Jalan Abdullah Raqie, yang terletak tepat di samping STAIN
Datokarama, dan yang terbaru adalah Taman Datokarama yang terletak di sekitar
teluk Palu.
Selain tiga tempat yang menyematkan nama Dato Karama atau
Abdullah Raqie sebagai identitasnya, ada beberapa tempat yang menjadi
peninggalan sejarah tentang sosok Dato Karama. Tempat-tempat tersebut antara
lain makam Dato Karama yang terletak di Jalan Selar, Kelurahan Lere, Kecamatan
Palu Barat, Kota Palu.
Cerita mengenai penamaan, sejarah dan cerita di
tempat-tempat tersebut menjadi hal yang menarik untuk dilihat. Terutama,
kehadiran tempat tersebut sebagai penanda serta pola pewarisan memori yang
melekat pada tempat-tempat tersebut.
STAIN Dato Karama: Identitas yang Kini Tinggal Kenangan
Nama adalah perwujudan sebuah identitas yang melekat sebagai
simbol. Melalui nama, orang akan lebih mudah mengenali sebuah simbol dan
identitas yang melekat bersamanya. Ketika sebuah nama sudah melekat kepada
sebuah simbol hingga menyatu menjadi sebuah kesatuan, pergantian nama terkadang
menjadi sesuatu yang tidak lumrah dan butuh waktu untuk kembali membangun
identitas.
Salah satu yang mengalami hal tersebut adalah STAIN Dato
Karama Palu. Simbol ketokohan Dato Karama yang sudah terlanjur melekat pada
identitas salah satu institusi pendidikan tinggi islam berstatus negeri ini,
harus rela “dilepaskan” karena terganjal pada aturan dan demi meloloskan
prasyarat untuk beralih status menjadi IAIN.
Menarik untuk membicarakan sejarah dari institusi pendidikan
islam ini dengan berbagai kisah menarik di sekelilingnya. Institusi pendidikan
yang satu ini telah melalui berbagai macam peristiwa dalam perkembangannya.
Jatuh bangunnya menjadi romansa tersendiri dalam perjalanannya menjadi
satu-satunya institusi pendidikan islam negeri di Sulawesi Tengah.
Perjalanan institusi pendidikan yang sekarang bernama IAIN
Palu ini bermula pada medio Mei 1966, ketika beberapa tokoh cendekiawan muslim
Sulawesi Tengah, baik dari kalangan pemerintahan, perguruan tinggi, instansi
pemerintah, ulama dan zu’ama, memprakarsai pembentukan sebuah institusi
pendidikan islam negeri dengan membentuk satu kepanitiaan yang diberi nama
Panitia Persiapan Pendirian IAIN Dato Karama Palu.[4]
Adapun struktur dan personalia dari kepanitiaan tersebut
adalah sebagai berikut:
Ketua :
Abidin Ma’ruf, S.H.
Wakil Ketua :
K.H. Zainal Abidin Betalembah
Sekretaris :
Abu Naim Syaar B.A.
Wakil Sekretaris :
Isma’un Dg. Marotja
Bendahara :
Ds. H.M. Ridwan
Anggota :
1. Pati Bidin
2. Drs. Andi Matalatta S.
3. Drs. H.F. Tangkilisan
4. Drs. Bochari
5. K.H. Abdul Muthalib Thahir
6. Syahrul
7. Zainudin Abd. Rauf
8. Muhtar Tadj
9. Rusdi Toana
10. Zuber. S. Garupa
11. Arsyad Parimpi
Dari struktur kepanitiaan ini dapat kita lihat bahwa
kepanitiaan diisi oleh bebrapa tokoh penting seperti K.H. Zainal Abidin
Betalembah, Rusdi Toana, Zainudin Abd Rauf, dan K.H. Abdul Muthalib Thahir.
Susunan kepanitiaan ini juga menggambarkan keterwakilan ormas islam di Sulawesi
Tengah seperti Alkhairaat, Muhammadiyah, dan NU.
Berkat jalinan kerja sama dengan IKIP Ujung Pandang Cabang Palu
dan Universitas Tadulako Cabang UNHAS di palu, serta dukungan moril dan materil
yang diberikan oleh pemerintah daerah, panitia tersebut berhasil membuka dua
fakultas sekaligus yaitu Fakultas Tarbiyah yang dipimpin oleh K.H. Zainal
Abidin Betalembah selaku dekan dan Drs. Buchari selaku wakilnya, serta Fakultas
Ushuluddin yang dipimpin oleh K.H. Qasim Maragau dan Drs. H.F. Tangkilisan
sebagai wakilnya.
Berdiri dan beroperasinya dua fakultas tersebut merupakan
pilar awal persiapan dan perjuangan mewujudkan berdirinya IAIN Dato Karama
Palu. Respon masyarakat pun ternyata sangat positif, terbukti pada awal
penerimaan mahasiswa baru, jumlah mahasiswa yang mendaftar kurang lebih
berjumlah 125 orang yang kemudian menjadi mahasiswa pada kedua fakultas
tersebut pada tahun akademik 1966/1967.
Dalam upaya mewujudkan beridirinya IAIN Dato Karama Palu,
lobi dari para pengusaha pun tak henti dimajukan ke pusat guna menggapai
tujuan. Namun usaha tersebut selalu terbentur dengan peraturan
perundang-undangan serta berbagai persyaratan akademik. Panitia tidak
kehilangan akal dan mencoba menghadap kepada Menteri Agama. Atas arahan Menteri
Agama, ketika itu dijadikanlah kedua fakultas tersebut sebagai filial dari IAIN
Alauddin Ujung Pandang.
Pada tahun 1997, dengan diterbitkannya KEPPRES No. 11 tahun
1997 tentang pendirian sekolah tinggi agama islam negeri, maka seluruh fakultas
cabang dari 14 IAIN yang ada di Indonesia dengan sejumlah fakultas yang
tersebar di berbagai daerah secara otomatis beralih status menjadi STAIN,
termasuk fakultas Tarbiyah dan fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin cabang
Palu.
Sebagai tindak lanjut dari KEPPRES tersebut, Menteri Agama
RI mengeluarkan surat keputusan No. 303 tahun 1997 tentang organisasi tata
kerja STAIN dan surat keputusan No. 336 tahun 1997 tentang statuta STAIN Palu.
Untuk pengaturan alih status dari fakultas daerah menjadi STAIN, Ditjen Bimbaga
Islam mengeluarkan surat keputusan No E 136 tahun 1997 tentang pedoman
pengalihan status tersebut.
Konsekuensi logis dari peralihan status tersebut berdasarkan
seperangkat aturan seperti yang disebutkan di atas, maka Fakultas Tarbiyah
berubah menjadi jurusan Tarbiyah dengan tiga program studi yaitu; Pendidikan
Agama islam, Pendidikan Bahasa Arab, dan Kependidikan Islam. Fakultas
Ushuluddin berubah menjadi jurusan Ushuluddin dengan tiga program studi yaitu;
Aqidah Filsafat, Tafsir Hadits dan Perbandingan
Agama.
Sesuai kewenangan yang diberikan bagi STAIN untuk dapat
membuka jurusan baru dalam rangka pengembangan, maka Sekolah Tinggi Ilmu
Syari’ah dari Yayasan Pendidikan Dato Karama yang langsung dibina oleh IAIN
Alauddin di Palu sejak tahun 1995, kemudian diitegrasikan dengan STAIN Palu dan
menjadi jurusan Syari’ah dengan dua program studi yaitu; Muamalah dan
Perbandingan Mahzab/Hukum.
Nama Yayasan Dato Karama kemudian diabadikan menjadi nama
STAIN Palu berdasarkan keputusan senat STAIN Palu tanggal 24 November 1997
dengan pertimbangan bahwa nama Dato Karama memiliki nilai historis sebagai
tokoh syiar islam pertama di Lembah Palu. Nama tersebut juga adalah nama yang
diperjuangkan untuk menjadi nama institusi pendidikan islam negeri pertama di
Kota Palu sejak tahun 1966.
Secara kelembagaan, peralihan status tersebut cukup
merugikan dari sisi eselonisasi pimpinan lembaga, namun di sisi lain sangat
memberikan prospek yang lebih cerah. Dengan peralihan status tersebut, STAIN
Dato Karama Palu memliki otonomi penuh baik dalam pengelolaan ketenagaan,
keuangan, sarana dan fasilitas, maupun dalam pengembangan mutu
akademiknya.
Di samping itu, sangat dimungkinkan untuk menyelenggarakan
program studi yang bervariasi sehingga dapat menampung minat masyarakat yang
beragam dalam kajian keislaman.
STAIN Datokarama kemudian berkembang pesat dan memiliki 4
jurusan di antaranya;
1. Jurusan
Tarbiyah dengan program studi Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Bahasa Arab,
dan Kependidikan Islam.
2. Jurusan Ushuluddin dengan program studi Aqidah Filsafat,
Tafsir Hadits.
3. Jurusan Syari’ah dengan program studi Muamalah,
Perbandingan Mahzab, dan Peradilan.
4. Jurusan Dakwah dengan program studi Komunikasi dan
Penyiaran Islam, Bimbingan Konseling Islam.
Pada tahun 2013, STAIN Datokarama Palu berubah status
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Perubahan ini berdampak pada
hilangnya nama Dato Karama sebagai identitas institusi pendidikan tersebut. Hal
tersebut dikarenakan penamaan Dato Karama hanya disahkan dengan SK Menteri
Agama RI sedangkan status IAIN disahkan melalui KEPPRES. Selain itu, untuk menambahkan
nama tokoh pada nama institusi pendidikan, perlu ada pengujian kelayakan tokoh
tersebut. Karena kajian mengenai sosok Dato Karama belum banyak dan masih
berkutat dengan pemitosan serta fakta sejarah yang minim membuat IAIN tersebut
harus merelakan diri untuk menanggalkan identitas yang telah mereka sandang
sejak tahun 1966 tersebut dan menggunakan nama IAIN Palu.
Taman Dato Karama: Apresiasi Pemerintah Kota Palu
Taman Datokarama berlokasi di Jalan Cumi-Cumi, Kelurahan
Lere, Kecamatan Palu Barat. Taman Dato Karamah bertempat di kawasan Taman Ria.
Taman ini berdekatan dengan hotel Mercure, kampus IAIN, Grand Mall, Kawasan
Rekreasi Taman Ria, dan juga berdekatan dengan makam Dato Karama. Taman Dato
Karama terletak tidak jauh dari pusat kota. Jika dihitung dari titik nol
kilometer yang berada di Jalan Sultan Hasanuddin, jarak tempuh menuju taman
tersebut berkisar kurang lebih 5 hingga 8 menit.
Taman ini memiliki luas sekitar 9700 meter persegi.
Perencanaan pengerjaan tim P2KH seluas 5000 meter persegi ditambah dengan
bantuan dari pemilik Hotel Silk Stone sebesar 1000 meter persegi sehingga total
pengerjaan taman tersebut seluas 6000 meter persegi.
Konsep perencanaan taman tersebut mengadopsi konsep RTH
(ruang terbuka hijau) yang diimplementasikan dengan membangun taman yang
didominasi oleh ruang hijau dengan memanfaatkan vegetasi-vegetasi lokal yang
disukai hewan seperti burung, kupu-kupu, dan lainnya.
Untuk pengerasan jalan digunakan grass block agar
lokasi RTH mampu menyerap air hujan. Untuk bentuk fisik, taman ini mengadopsi
konsep Green Transportation yaitu di dalam DED akan ada area parkir kendaraan
bermotor, trotoar untuk pejalan kaki, jogging track, serta rute sepeda.
Taman Dato Karama mengusung tema ramah lingkungan. Bangunan
yang direncanakan antara lain pergola, pos jaga serta toilet dengan tanaman
rambat diatasnya, dan banyak memanfaatkan limbah daur ulang, seperti untuk
bangku taman akan memanfaatkan bekas dari pagar beton, daur ulang ember bekas
cat.
Salah satu atribut yang dikembangkan dalam Taman Dato Karama
yakni Green Water yaitu sistem penyerapan air hujan sebanyak-banyaknya untuk
mengantisipasi banjir. Selain itu di dalam taman ini ditambahkan pencegahan
genangan air dan pompa tenaga surya untuk penyiraman tanaman sehingga petugas
tidak kesulitan.
Penamaan Dato Karama pada taman tersebut merupakan hasil
kesepakatan pemerintah daerah. Tujuannya adalah memberi apresiasi kepada sosok
Dato Karama yang merupakan tokoh penyebar agama Islam pertama di Kota Palu.
Makam Dato Karama: Halte Terakhir Sang Ulama
Tidak diketahui secara pasti mengenai tahun wafatnya Dato
Karama. Tidak adanya bukti tertulis yang dapat menjadi acuan merupakan penyebab
diskontinuitas sejarah ini. Setelah wafat, Dato Karama kemudian dimakamkan
di daerah Kampung Lere, Kota Palu. Makam Dato Karama inilah yang di kemudian
hari ditetapkan sebagai salah satu situs cagar budaya di Kota Palu.
Secara keseluruhan, kompleks ini menepati lahan seluas 1.700
m2, sedangkan luas bangunan makam Dato Karama sendiri sekitar 104 m2 dengan
bentuk rumah Minangkabau. Di dalam kompleks ini terdapat juga beberapa makam
lainnya seperti makam istri, ipar serta puteranya. Selain itu, terdapat juga
makam pengikut setianya yang terdiri dari 9 makam laki-laki, 11 makam wanita,
serta 2 makam yang tidak ada keterangan yang jelas di batu nisannya.
Pada hari-hari tertentu, kompleks Makam Dato Karama ini
ramai dikunjungi peziarah. Para peziarah tidak hanya berasal dari Kota Palu,
tetapi juga berasal dari daerah-daerah lainnya seperti Donggala, Kulawi,
Parigi, dan sebagainya. Pengunjung yang datang ke makam ini dengan maksud yang
berbeda-beda. Sebagian besar datang untuk melakukan ziarah. Sebagian yang lain
datang ke makam ini dengan tujuan untuk melakukan penelitian sejarah, misalnya
para arkeolog, mahasiswa, maupun para pelajar.
Kompleks Makam Dato Karama terletak di Jalan Rono, Kelurahan
Lere, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Akses menuju
kompleks Makam Karama cukup mudah karena terletak di Kota Palu dan letaknya
sekitar kurang lebih 3 km dari pusat kota. Anda dapat memanfaatkan angkutan
umum kota berupa mobil angkutan kota (angkot) untuk menuju ke lokasi makam.
Kompleks makam ini dahulu dikenal cukup sakral dan hanya
orang tertentu saja yang bisa masuk ke area makam ini. Namun kini, tempat ini
telah menjadi salah satu obyek wisata religi yang bebas untuk dikunjungi
setelah Pemerintah Kota Palu memberikan izin beberapa tahun silam. Hal ini
penting mengingat nilai edukasi dan historis yang bisa didapat oleh pengunjung
dari situs cagar budaya ini.
Kondisi makam tersebut saat ini agak kurang terawat. Semak
belukar tumbuh tak beraturan di sekita lokasi makam, tidak adanya fasilitas
penerangan di malam hari, serta keadaan bangunan makam yang mulai tidak
terurus. Hal ini tentunya menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah untuk
segera merehabilitasi salah satu peninggalan sejarah di Kota Palu ini.
Penutup
Keberadaan tempat-tempat sebagai penjaga memori masyarakat
akan peristiwa dan tokoh sejarah sangat penting kehadirannya. Mengapa demikian?
Karena lewat tempat-tempat itulah, masyarakat mengenal peristiwa dan tokoh
sejarah tersebut. Tempat-tempat tersebut menjadi sarana pewarisan memori kepada
generasi berikutnya, terutama tentang kearifan di masa lalu dan nilai-nilai
kebaikan yang ada di dalamnya. Tempat-tempat tersebut juga menjadi batu pijak
untuk menggali lebih jauh mengenai peristiwa di sekeliling tokoh sejarah
tersebut.
Bentuk penghormatan dengan penyematan nama seorang tokoh
sejarah kepada tempat-tempat tertentu seperti jalan, gedung, bahkan taman
adalah bentuk apresiasi dari masyarakat dan pemerintah daerah terhadap tokoh
tersebut. Namun, penyematan tersebut bisa dimaknai dua hal yaitu, mengingat
peristiwa atau tokoh sejarah itu sendiri atau melupakan peristiwa-peristiwa
penting di sekitarnya. Sekarang tinggal bagaimana kita belajar dari sejarah,
bukan hanya sekedar belajar sejarah.
[1] Syakir Mahid,
dkk. 2009. Sejarah Sosial Sulawesi Tengah. Yogyakarta: Pilar Media.
hal. 108.
[2] Ibid. Hal. 108.
[3] Pada saat itu
Padang Pariaman masih dibawah pengaruh Kesultanan Aceh, terutama pengaruh
Islam.
[4] Sejarah
Singkat: Lintasan Sejarah Kelahiran dan Perkembangannya, dalam Buku Profil
STAIN Dato Karama Palu tahun 2010, Hal. 7
[5] Lihat Wilman
Darsono, dkk, 2004. Pengembangan Diorama “Kaili Tour” Dalam Perspektif
Sejarah, Laporan Penelitian Program Kreatif Mahasiswa (PKMP). Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako.
[6] M. Wenas
(penerj), 1984. Van Poso Naar Parigi Sigi En Lindoe door Dr. N. Adriani en
Alb. C. Kruijt 1898. Palu: Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Propinsi Sulawesi Tengah. hal. 76.
[7] Ibid. Hal.
72.
[8] Opcit. hal.
154.
Penulis: Jefrianto (mahasiswa Jurusan SPI/Jurnalis Harian Umum Mercusuar)
Komentar
Posting Komentar