Menelusuri Jejak Dato Karama dan Inggondi: Menyibak Misteri, Mengungkap Fakta
Membahas tentang sejarah terkait sosok Dato Karama di Lembah
Palu, selalu menyimpan sebuah misteri yang menarik untuk dipecahkan. Kali ini,
kami akan membedah cerita kedatangan Dato Karama, berdasarkan cerita yang
dituliskan oleh Kruyt dan Adriani dalam buku De Baree Sprekende.
Dalam cerita tersebut disebutkan, pemukiman awal di lembah
Palu saat kedatangan Dato Karama, berada di pedalaman. Hal in
mengindikasikan kalau saat tu, pemukiman awal keloompok Pue Nggari di Pandapa
(Besusu) tidaklah terlalu dekat dengan garis pantai, tetapi lebih sedikit ke
pedalaman.
Saat itu di pantai teluk Palu sudah ada
penambak garam (kemungkinan di Talise?) Para petambak itu menemukan Dato
Karama bersama seorang anak sedang duduk di atas sajadah. Jika ditelaah
lebih lanjut, para penambak itu mungkin saja menemukan kedua orang ini tengah
dalam kondisi melaksanakan shalat, kemungkinan lain, kapal/perahu yang mereka
tumpangi karam, sehingga mereka ditemukan tanpa perahu atau kapal.
Dalam cerita tersebut disebutkan Dato Karama berkomunikasi
dengan Pue Nggari menggunakan tanda tertentu (isyarat).
Selanjutnya, diceritakan, Dato Karama hanya minum kopi tidak
mengkonsumsi nasi dan sejenisnya, ketika ditawari makanan oleh Pue Nggari.
Disinyalir, Dato Karama membawa kopi bersamanya, karena saat ditemukan oleh
warga, anak yang datang bersamanya menanyakan, apakah Dato ingin saya buatkan
kopi?. Jika benar Dato Karama membawa kopi, berarti beliaulah yang pertama
kali memperkenalkan kopi ke wilayah Lembah Palu.
Selain itu, beliau juga mengaku tidak memiliki pusar dan
penis, ketika ditawari seorang gadis oleh Pue Nggari. Hal ini menurut analisis
saya, hanya penolakan halus sang ulama, karena mungkin beliau telah menduga,
gaya hidup masyarakat di Palu di masa itu, masih belum sesuai dengan syariat
Islam. Hal ini tergambar ujelas di cerita itu bahwa kampung tempat tinggal Pue
Nggari terdapat peternakan babi yang bau kotorannya sangat menyengat.
Atas dasar hal tersebut, Dato Karama memilih tinggal di
kawasan pesisir pantai yang disinyalir di wilayah Lere, di mana dia dibangunkan
sebuah gubuk oleh Pue Nggari. Dalam kesehariannya, Pue Nggari juga terkejut
dengan kebiasaan shalat lima waktu yang dilakukan oleh Dato Karama. Kebiasaan
ini yang membuat Pue Nggari berpikir, Dato Karama ini adalah sosok yang luar
biasa dam memiliki karomah.
Pada saat kedatangan Dato Karama, istri Pue Nggari tengah
dalam keadaan hamil. Ketikan anak tersebut lahir, Pue Nggari mengirimkan
beberapa utusan kepada Dato Karama, untuk menanyakan nama yang baik bagi bayi
ini. Dato Karama baru saja selesai sembahyang, ketika utusan tersebut datang.
Dato Karama pun bertanya “siapa orang”?
Para utusan menyimpulkan bahwa pertanyaan ini adalah nama
yang diberikan untuk anak Pue Nggari yang baru lahir dan segera kembali. Namun
dalam perjalanan, mereka lupa bahasa Melayu untuk kata orang, dan
menggantikannya dengan bahasa lokal untuk penyebutan orang, yaitu Taoe (Tau),
sehingga mereka menginformasikan kepada Pue Nggari, bahwa anaknya harus diberi
nama Sapataoe (Sapatau), yang kemudian La Pataoe, (Lapatau), nama yang umum
bagi putra seorang penguasa di lembah Palu.
Kemudian, pada suatu ketika, La Pataoe menderita sakit dan
Pue Nggari mengirimkan pesan kepada Dato Karama, bahwa jika Dato Karama bisa
menyembuhkan anak tersebut, Dato Karama boleh menyunat anak itu. Datu Karama
lalu datang untuk menyembuhkan anak tersebut. Dia mengambil air lalu berdoa.
Dia lalu memberikan air yang telah didoakan tersebut untuk diminum. La Pataoe
kemudian sembuh dan menjadi orang islam pertama di Palu. Setelah kematian
ayahnya, dia memindahkan pusat kekuasaan di pesisir pantai, tempat kekuasaan
Kerajaan Palu saat ini.
La Pataoe kemudian menikahi sepupunya dan mendapat putra
dari pernikahan ini, yang namanya tidak lagi diketahui, karena tidak ada yang
mengenalnya. La Pataoe kemudian menikah lagi dengan salah seorang sepupunya,
tetapi dari pernikahan ini tidak ada anak yang lahir.
Atas saran Datu Karama, putra La Pataoe dari pernikahannya
yang pertama, pergi ke Minangkabau dan menikahi seorang anak penguasa di sana,
di mana dia punya beberapa anak. Kemudian dia kembali ke Paloe kembali, di mana
dirinya menyesali, banyak keluarganya yang telah meninggal.
Dari kesepakatan umum di paloe, diputuskan bahwa anak
perempuan dari anak La Pataoe yang berada di Minangkabau, dipulangkan ke Paloe
dan ketika kapal tiba di Paloe, musik gong telah diperkenalkan di Paloe sejak
saat itu.
Gadis ini kemudian menikahi putra penguasa Kaili dan dari
pernikahan ini menurunkan penguasa selanjutnya di Paloe.
Dari cerita ini, kami coba mengkomparasikannya dengan
sejumlah silsilah, seperti Silsilah Kita Santina, Stamboom Magaoe Palu tahun
1920 dan 1927, silsilah Pue Nggari versi Lando hasil dokumentasi Nazarudin
Pakedo, serta sejumlah silsilah lainnya.
Dalam stamboom dan silsilah versi Lando misalnya, Pue Nggari
disebut memiliki dua anak dari istri madika Lando. Istri masika Lando ini
sendiri, diidentifikasi sebagai Pue Puti, karena dalam buku De West Toradjas op
Midden Celebes, Pue Puti disebut berasal dari Lando. Dua anak dari Pue Puti ini
dalam silsilah tersebut bernama I Dato Labugulili dan Busi Imbaso. Menurut
versi De West Toradjas, pernikahan Pue Nggari dan Pue Puti dikaruniai tiga
orang anak perempuan, yakni Tuwundjamaja yang menikahi Lomba dari Tatanga, Pue
Balo yang tidak menikah, dan Daelani yang menikahi Masigi dari Tatanga.
Jika diidentifikasi di sejumlah silsilah seperti Stamboom
1920 dan 1927, Tuwundjamaja dapat diidentifikasi sebagai adik Pue Bongo atau
Panjuroro, karena dalam silsilah tersebut, Pue Lomba disebutkan menikahi adik
Panjuroro dan menurunkan Dae Langi yang diidentifikasi sebagai Dae Ntalili,
ayah dari Djalalembah. Hal ini setidaknya mengidentifikasi, ada yang keliru,
entah dari cerita yang ditransliterasi Kruyt atau silsilah yang disusun
tersebut.
Kemudian nama Pue Balo sendiri, dalam stamboom 1920 dan
1927, tidak disebutkan sebagai anak Pue Nggari, namun disebut sebagai anak dari
Pue Lomba yang menikah dengan adik Panjuroro. Pue Balo di sini disebut sebagai
adik dari Dae Langi, yang diidentifikasi sebagai Dae Ntalili. Hal ini
mengindikasikan, beberapa kemungkinan, yaitu terjadi kesalahan identifikasi
yang dilakukan oleh Kruyt atau kesalahan pencatatan dalam Stamboom.
Kemudian soal Daelani, kemungkinan besar, terjadi kesalahan
identifikasi, baik oleh Kruyt maupun Stamboom. Karena dalam stamboom, Daelani
(Dae Langi) disebutkan adalah seorang laki-laki yang menurunkan Djalalembah.
Dalam Silsilah Kita Santina, sosok laki-laki yang menurunkan Djalalembah adalah
Dae Ntalili, yang menikahi Dei Pailu, anak dari Dei Panggewa yang disebutkan
merupakan adik dari Panjuroro. Sementara itu, Dae Lani di De West Toradjas,
disebutkan menikah dengan Masigi, menurunkan Kodi Palo. Masigi sendiri.
Dari cerita di De West Toradjas, tidak disebutkan Pue Nggari
memiliki seorang putra. Kemungkinan terbesarnya, sosok Lapatau tidak lagi
dikenal oleh generasi di bawahnya, namun nama yang sama digunakan untuk
penamaan saudara Djalalembah yang menurunkan Radja Maili. Sosok pertama yang
menggunakan nama tersebut mungkin terlupakan, namun kenyataannya, nama yang
sama digunakan untuk penamaan generasi selanjutnya.
Kemudian, sosok Lapatau sendiri tidak termuat dalam sejumlah
silsilah terkait Kerajaan Palu. sejumlah silsilah seperti Stamboom Magaoe Palu
tahun 1920 dan 1927, hanya menyebut nama I Dato Labugulili. Jika merujuk pada
keterangan di De Baree Sprekende, sosok I Dato Labugulili ini, disinyalir
merupakan anak Lapatau yang berangkat ke Minangkabau, menikah dengan anak
penguasa di sana dan kembali ke Palu, beberapa waktu setelahnya. Asumsi ini
didasarkan pada gelar Dato yang disandang I Dato Labugulili, yang lebih lekat
dengan penyebutan Minang, daripada penyebutan khas “selatan” seperti Datu.
Asumsi ini sendiri masih butuh pembuktian secara ilmiah, namun jika memang
kemudian asumsi ini benar, berarti, ada satu generasi yang hilang dalam
penulisan silsilah Kerajaan Palu, yakni generasi Lapatau.
Kemudian, sosok cucu perempuan Lapatau yang menikahi
penguasa Kaili, inipun masih menjadi misteri. I Dato Labugulili sendiri, yang
diasumsikan sebagai anak Lapatau yang berangkat ke Minang, dalam beberapa
silsilah, memiliki tiga istri, yakni Dae Sabiba (Pue Odo) yang merupakan Madika
Biromaru. Dae Sabiba ini, menurut silsilah lainnya yang disusun kembali oleh
Andi Alimudin Rauf, adalah anak dari Muladu, Raja Gorontalo. Muladu sendiri
dalam arsip Tomini Landen, Posjo Todjo, disebut sebagai anak dari Raja Houg Goa
dan cucu dari Raja Limboto.
Pernikahan I Dato Labugulili dengan Dae Sabiba, menurunkan
Dae Malino (Indjola) yang kemudian menikah dengan Malasigi Bulupalo dan
menurunkan Lamakaraka. I Dato Labugulili juga menikahi putri Magau Sigi,
Garuda, yakni Daeasia (Inturo) dan menurunkan Dae Pangipi (Madika Beli) yang
menjadi Magau ke VI Tawaeli, lalu Habiba, Baesugi, Pingganggingili yang menikah
dengan Dae Ntalili, serta Lawawo yang mati muda. Di Tawaeli, I Dato Labuguili
juga diketahui menikahi Taopa, anak dari Bulangisi (Daeng Kondang) penyebar
Islam di Tawaeli. Pernikahan ini dikaruniai dua orang anak, yakni Datumpedagi (Pue
Oge Nganga) dan Djumpulemba (Pue Ratovo).
Dalam silsilah I Dato Labugulili, tidak dijelaskan bahwa ia
memiliki istri atau anak dari Minang. Ada beberapa kemungkinan, pertama, sepert
yang dikatakan Kruyt, tidak ada lagi yang mengetahui kisah ini, sedangkan
kemungkinan kedua, I Dato Labugulili bukanlah anak laki-laki Lapatau yang
dimaksud.
Namun, jika dicermati dalam Stamboom Magaoe palu 1920 dan
1927, ada sebuah fakta menarik. Di silsilah tersebut tertulis, istri kedua
Malasigi Bulupalo yakni Inggondi, disebut sebagai wanita ‘paranakan’ yang berpengaruh
di Palu. Namun dalam silsilah tersebut, tidak dijelaskan asal usul Inggondi
tersebut.
Dalam silsilah ini, dijelaskan pernikahan ini menurunkan
Radja Dewa yang kemudian menikah dengan Rawani dan menurunkan I Tjea. I Tjea
ini kemudian menikah dengan Lamatalundu, anak dari Djalalembah, yang kemudian
menurunkan Daeng Malindu, yang pernah menjabat sebagai Madika Matua Palu.
Paranakan sendiri, menurut penuturan Muh Herianto dan Moh
Sairin, adalah orang-orang keturunan Minang, yang bermukim di sekitar lokasi
makam Dato Karama di kampung Lere. Jika melihat cerita yang disampaikan Kruyt
tentang cucu perempuan Lapatau yang kembali ke Palu dan menikah dengan penguasa
Kaili, Inggondi dapat disinyalir adalah sosok yang dimaksud. Hal ini masih
membutuhkan penelitian mendalam, terutama untuk mencari perihal asal usul
Inggondi ini.
Penulis: Jefrianto (mahasiswa Jurusan SPI IAIN Palu/Jurnalis
Harian Mercusuar)
Komentar
Posting Komentar