Maulid, Akulturasi Tradisi Islam di Palu

Mendung menggelayut di langit Kota Palu, saat ratusan orang memadati sebuah rumah di Jalan Hayam Wuruk, Kelurahan Besusu Barat, Kecamatan Palu Timur, Sabtu (9/11/2019). Lantunan salawat dari ratusan orang yang hadir di rumah tersebut, menggema hingga ke badan jalan. Pada bagian dalam rumah tersebut, di ruang tamu, berdiri sebuah bangunan berbentuk bujur sangkar, dililit kain hijau berlafadz kalimat tauhid. Pada keempat sudut bangunan tersebut, dipasangi hiasan berupa bendera dari kertas minyak berwarna warni, kemudian hiasan telur, dan bunga. Pada bagian dalam bangunan tersebut, diletakkan sejumlah barang, seperti nasi ketan atau yang disebut kadominya, yang ditempatkan di dalam wadah, seperti baskom dan panci berbagai ukuran.

Bangunan berbentuk bujur sangkar tersebut oleh masyarakat Kota Palu lazim disebut dengan Paha’. Tokoh masyarakat Kelurahan Besusu Barat, Makmur Dg Sau menjelaskan, Paha’ memiliki makna, yakni paham, yang merupakan perwujudan simbolis dari Kabah. Lanjut Makmur, penggunaan kata paham sebagai nama bangunan tersebut, memiliki cerita tersendiri. Menurut dia, sebelum Islam masuk di wilayah Palu dan sekitarnya, masyarakat lokal menggunakan bangunan serupa sebagai sarana pemujaan, yang disebut Palakka. Setelah Islam masuk, tradisi tersebut diubah dengan menggunakan bangunan tersebut, sebagai salah satu pelengkap tradisi Maulid.
Tradisi Maulid di wilayah Palu dan sekitarnya, diperkenalkan oleh komunitas Cikoang. Menurut Jefrianto dalam Islamisasi Ala Cikoang di Lembah Palu, komunitas Cikoang ini merupakan kelompok masyarakat di wilayah Cikoang, Makassar, yang merupakan keturunan dari salah seorang ulama penyebar Islam di kawasan tersebut, yaitu Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid.
Untuk wilayah Palu sendiri, kedatangan komunitas Cikoang ini diperkirakan terjadi pada pertengahan abad ke 19, atau sekitar tahun 1840. Kedatangan ini dipelopori oleh beberapa orang, di antaranya Sayyid Bahrullah bin Atiqullah, Habib Sayyid Ibrahim, Habib Sayyid Umar, dan Habib Sayyid Mohammad Tafsir, yang kesemuanya bermarga Bafagih Aidid. Secara genealogi, Sayyid Bahrullah merupakan cicit dari Sayyid Jalaluddin bin Muhammad Wahid Bafaqih Al-Aidid, yang jika dirunut, yaitu Sayyid Bahrullah bin Atiqullah bin Ali Akbar bin Umar bin Sayyid Jalaluddin.
Tradisi Maulid merupakan salah satu bentuk syiar Islam yang dilakukan oleh Komunitas Cikoang di wilayah Palu dan sekitarnya. Makmur Dg Sau menjelaskan, tradisi maulid ini dipelihara oleh komunitas tersebut hingga saat ini. Menurut Makmur, setiap simbol dalam pelaksanaan maulid memiliki makna tersendiri. Ayam adalah lambang dan simbolis penciptaan dari sang pencipta, telur adalah lambang kelahiran, kulit kasar telur merupakan simbolis syariat, kulit arinya merupakan simbolis tarekat, putihnya merupakan simbolis hakikat dan kuningnya merupakan simbolis makrifat, dan bunga adalah lambang  kehidupan.
Paha’ (Paham) tempat penyimpanan bahan-bahan dan diletakkan di tengah-tengah para peserta maulid, merupakan lambang dan simbolis dari Ka’bah, di mana pada bagian tengahnya diletakkan baraka, yang besar, ini merupakan lambang dan simbolis Hajaratul Aswad. Kemudian, bendera yang besar pada empat sudut Paha’ melambangkan empat sahabat yang agung di sisi Rasulullah SAW. Lalu, kain putih yang direntangkan di atas paha, merupakan gambaran, kemanapun Nabi berjalan, selalu dinaungi awan putih.
Salah seorang informan lainnya, Randi Ibrahim Bafagih menjelaskan, pada bagian atas kain putih itu, ditutupi kain hijau bertuliskan kalimat tauhid Laa Ilaha Ilallah Muhammadurrasulullah, bermakna tauhid syahadat yang mengikat, berpegangan pada keyakinan mengenai Islam, dan warna hijau adalah salah satu warna kesukaan Nabi Muhammad. Kemudian bunga selain makna kehidupan, juga penanda ahlulbait keturunan Rasulullah, yaitu Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, sebagaimana hadist Nabi, keduanya (Hasan dan Husain) adalah dua buah tangkai bungaku di dunia. Sementara, bendera-bendera yang banyak, merupakan lambang semua semangat sahabat Nabi yang merupakan pejuang Islam. Bunga juga merupakan gambaran sebagaimana harum semerbaknya tubuh Rasulullah saw.
Pada saat peserta maulid berdiri membacakan puji-pujian dan salawat kepada Rasul, mereka diharuskan berkumpul beriringan mengelilingi Paha’. Ini dimaksudkan sebagai gambaran bagaimana kaum muslimin dan muslimat pergi menunaikan ibadah Haji, di mana diwajibkan bertawaf mengelilingi Ka’bah.
Makmur menjelaskan, ada 6 syarat-syarat acara pelaksanaan Maulid. Enam syarat tersebut yakni mensucikan diri (mandi dan berwudhu), berniat (tafakkur), khusus anggota, apabila acara akan dimulai diharuskan berkumpul di tempat pelaksanaan dan saling maaf memaafkan. Apabila seluruh peserta telah berdiri untuk membacakan puji-pujian berupa salawat Nabi, maka seluruh anggota kembali berkumpul mengelilingi Paha’ sampai para peserta maulid duduk kembali di tempat semula, Dengan adanya pembacaan doa dan Baraka telah habis dibagi-bagikan kepada peserta maulid, maka seluruh rangkaian acara telah selesai.  
Selain itu kata Makmur, dalam bahan-bahan yang digunakan pada pelaksanaan maulid, menggambarkan dasar-dasar pengkajian kisah kejadian keberadaan Rasulullah saw, dihubungkan dengan intisari ajarannya, yakni beras menggambarkan tubuh yang artinya syariat, kelapa menggambarkan hati yang artinya tarekat, ayam menggambarkan nyawa yang artinya hakikat, serta telur menggambarkan rahasia yang artinya makrifat. Syariat, tarekat, hakekat dan makrifat, adalah intisari dari ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Lanjut Makmur, adapun maksud dan tujuan hakikat pelaksanaan maulid, yakni kandungan empat amalan yang baik, di antaranya amal mubarrak, karena mengundang para hadirin dan menyediakan tempat, amal saleh karena berzikir, bershalawat dan berdoa, amal jariyah ialah karena memberikan makan dan minum kepada para hadirin yang mengikuti maulid.
Tradisi Maulid hingga kini masi dilaksanakan, baik di masjid-masjid maupun di rumah-rumah warga. Tradisi tersebut telah berubah menjadi tradisi yang umum dilaksanakan oleh masyarakat Kota Palu khususnya dan Sulawesi Tengah pada umumnya. Namun, pelaksanaan Maulid oleh Komunitas Cikoang tetap bertahan ciri khasnya hingga saat ini.
Pelaksanaan maulid oleh komunitas Cikoang, merupakan bukti bahwa selain oleh mubaligh dari Padang dan Arab, Islam masuk ke lembah Palu juga dibawa oleh masyarakat dari Sulawesi bagian selatan. Komunitas masyarakat dari selatan Sulawesi ini, memiliki andil terhadap syiar islam di wilayah Palu dan sekitarnya, sebagaimana disebutkan oleh sejarawan Untad, Haliadi, bahwa periode penyebaran islam oleh masyarakat dari selatan Sulawesi, merupakan periode ideologis dari penyebaran islam di Sulawesi Tengah.

Sebagai salah satu bagian dari upaya syiar islam yang dilakukan oleh komunitas Cikoang. Randi menjelaskan, dulu setelah maulid, leluhur mereka mengisahkan satu persatu sejarah Islam, sambil menunjuk simbol-simbol yang ada, untuk memberikan pemahaman kepada warga di masa itu, tentang ajaran Islam dan sejarah nabi, keluarga nabi serta sahabat nabi. 

Pelaksanaan maulid merupakan bukti akulturasi budaya antara komunitas masyarakat tersebut dengan masyarakat lokal. Tradisi ini masih tetap bertahan karena terus dilaksanakan oleh komunitas masyarakat tersebut, tetapi makna di dalamnya harus terus disyiarkan, agar tidak lekang dimakan waktu.

Penulis: Herlinda (mahasiswa Jurusan SPI IAIN Palu angkatan 2017, Wakil Ketua Umum HMJ SPI IAIN Palu)
             Utari Andrayani (mahasiswa Jurusan SPI IAIN Palu angkatan 2017)
Editor: Jefrianto


Komentar

Postingan Populer