Belajar Dari Masa Lalu: Wabah dan Pandemi di Sulteng Awal Abad 20
Oleh: Mohammad Sairin (Dosen
Jurusan Sejarah Peradaban Islam IAIN Palu)
Saat ini di seluruh penjuru dunia,
semua orang sedang berjuang menghadapi pandemi Corona Virus Disease (Covid-19),
yang disebabkan virus Corona. Per 6 April 2020, sebaran virus Corona telah
menyebar ke lebih 200 negara, termasuk di Indonesia. Jumlah orang yang terinfeksi
mencapai 1,2 juta di seluruh dunia. Khusus di Indonesia, tercatat 2.491 jiwa
positif terpapar Corona, sedangkan di Sulawesi Tengah (Sulteng), tercatat 5
orang positif Corona, di mana 2 orang di antaranya telah meninggal dunia.
Menilik dari perjalanan sejarah,
bukan kali ini saja dunia dihadapkan dengan munculnya wabah penyakit, mulai
dalam skala yang lebih kecil, hingga skala yang lebih besar, atau biasa disebut
pandemi. Wilayah Sulteng juga tidak luput dari serangan wabah dan pandemi
tersebut. Tulisan singkat ini bermaksud memaparkan sejarah wabah dan pandemi
yang pernah terjadi di Sulteng, pada awal abad 20, yang saat itu masih bernama Afdeeling Midden Celebes.
Penelitian oleh ahli sejarah
lingkungan dan demografi, David Henley, menyebut beberapa wabah yang terjadi di
Sulteng. Dirinya menuliskan, di wilayah Poso, wabah yang pernah terjadi di awal
abad 20 antara lain, wabah kolera (1902-1903), cacar (1908-1909) penyakit
pernapasan yang tidak diketahui penyebabnya (1911-1912), kolera (1915-1916),
pandemi flu Spanyol (1918-1919), serta beberapa kasus lokal malaria. Sementara
di wilayah Donggala dan Palu, dalam beberapa catatan arsip dan koran, diketahui
beberapa kali terjadi wabah, seperti wabah disentri di Sirenja tahun 1905.
Wabah disentri yang menyerang penduduk Pakawa yang pindahkan ke Lembah Palu
(1912-1915), yang menyebabkan ratusan orang meninggal. Lalu wabah kolera di
Palu dan Donggala pada akhir tahun 1915, serta pandemi flu Spanyol (1918-1919).
Wabah penyakit tidak pandang
bulu, baik masyarakat umum maupun kaum bangsawan dan raja, tidak luput dari
serangan wabah. Salah seorang raja yang meninggal akibat wabah penyakit adalah
Djaelangkara, Magau Tawaeli 1900-1905. Diceritakan dalam sebuah koran kolonial,
saat itu ia sedang melakukan tornei,
kunjungan kerja ke Sirenja, untuk mengkoordinasikan pengumpulan pajak. Ia
berangkat dari Tawaeli pada 11 Juli, dengan menggunakan kapal pemerintah, S.S.
Raaf. Saat itu, di Sirenja sedang mewabah penyakit Bloeddiarre atau disentri. Djaelangkara tertular wabah tersebut,
yang menyebabkan ia wafat di Pantai Baerumu, Tompe, Sirenja pada 28 Juli 1905.
Pemerintah kolonial lalu melarang masyarakat menyentuh jenazah Djaelangkara,
sebagai upaya untuk mencegah penularan penyakit tersebut. Jenazah Djaelangkara
lalu dibawa ke Tawaeli dengan menggunakan Kapal S.S. Raaf, kemudian dimakamkan
di kompleks Masjid Jami Tawaeli. Kematian mendadak Magau Djaelangkara yang
sebelumnya tampak sehat, membuat masyarakat beranggapan, Magau Djaelangkara
meninggal akibat diracuni oleh kaki tangan pemerintah kolonial.
Bangsawan lainnya yang diketahui
meninggal akibat wabah penyakit, adalah Lapariusi atau Toma Besse. Ia adalah
putra tertua Magau Palu, Yojokodi dan merupakan ayah Magau Djanggola. Beliau
bekas Madika Malolo Palu yang akan dipersiapkan menjadi raja menggantikan
ayahnya. Namun, ia menolak jabatan tersebut. Jabatan raja lalu diserahkan
kepada adiknya, Parampasi. Dari cerita lisan diketahui, Lapariusi wafat akibat
wabah kolera di Palu yang berlangsung kurang lebih sebulan lamanya. Berbeda
dengan keluarga raja Palu lainnya yang dimakamkan di Siranindi, ia dimakamkan
di Kampung Lere untuk mempercepat prosesi pemakaman dan mencegah penularan
penyakit lebih meluas. Diceritakan, jangankan orang melayat, orang yang berdiri
di depan rumahnya melihat iring-iringan jenazah saja, bisa tertular dan
kemudian meninggal keesokan harinya. Wabah ini dimuat dalam sebuah laporan
kolonial, bahwa pada 13 Nopember 1915 di Palu dan pada tanggal 6 Desember 1915,
pesisir Donggala dilanda oleh wabah kolera. Berkat tindakan cepat yang diambil
oleh pemerintah, jangkauan penyakit ini menjadi sangat berkurang pada akhir
tahun. Tidak dijelaskan lebih jauh, seperti apa tindakan cepat dari pemerintah
kolonial tersebut.
Wabah penyakit yang paling banyak
menelan korban pada abad 20 adalah pandemi flu Spanyol pada tahun 1918, yang
disebabkan oleh virus H1N1. Diperkirakan 21,5 - 50 juta jiwa di seluruh dunia
meregang nyawa, akibat pandemi tersebut, sementara di Hindia Belanda setidaknya
1,5 juta jiwa meninggal (Ravando, Kompas, 21/3/2020). Sumber lain menyebut,
angka kematian jauh lebih besar lagi. Di Jawa dan Madura, angka kematian
mencapai 4,26 - 4,37 juta jiwa (Ahmad Arif, Kompas, 1/4/2020). Wilayah Sulteng
juga tidak luput dari pandemi ini. Masyarakat Kulawi mengenal pandemi ini
dengan nama Hiropu (Ahmad Arif,
Kompas, 1/4/2020). Sementara masyarakat Kaili di Sirenja, menyebut penyakit ini
Jua Ropu, penyakit yang memusnahkan.
Orang-orang tua masih dapat menunjukan pemakaman orang-orang yang tertular Jua Ropu.
Tingkat kematian akibat pandemi
Flu Spanyol di Sulteng cukup besar. Mengutip data yang dikemukakan oleh David
Henley, di wilayah Donggala dan sekitar Teluk Palu menyebabkan kematian 6 persen
dari populasi penduduk. Sementara di Kulawi persentase jumlah penduduk yang
meninggal mencapai 13 persen. Bahkan, angka ini jauh lebih besar jika mengikuti
data yang disampaikan oleh Kaudern, bahwa dari 2.000 jiwa populasi penduduk
Kulawi di masa itu, 400 orang di antaranya meninggal karena pandemi flu
Spanyol. Ini berarti sebesar 20 persen dari populasi penduduk Kulawi.
Masyarakat Kulawi masih merekam peristiwa ini dengan cerita turun-temurun, di
mana diceritakan, orang-orang sampai bingung, siapa yang akan dimakamkan
terlebih dahulu. A.R. Tobondo dalam buku 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso menyebut,
jumlah korban meninggal akibat pandemi flu Spanyol tahun 1918 di wilayah Poso
mencapai 2.000 jiwa. Di wilayah Lore, tingginya angka kematian akibat pandemi,
menjadi salah satu faktor dari penurunan jumlah penduduk. Pada tahun 1917,
penduduk Napu berjumlah 3.250 jiwa, namun dua tahun kemudian, pada tahun 1919
tersisa 2.866 jiwa. Sementara di Besoa, tingkat kematian diperkirakan mencapai
17 persen, dari populasi penduduk.
Kaum bangsawan juga tidak luput
menjadi korban keganasan pandemi ini. Dalam laporan kolonial disebutkan, dua
orang raja di wilayah Sulteng, meninggal pada Desember 1918, akibat pandemi flu
Spanyol. Mereka adalah Magau Palu, Parampasi dan Raja Kulawi, Tomampe, raja
kedua Kulawi yang menggantikan Towualangi. Raja Tomampe termasuk orang yang
paling awal terserang wabah ini. Menurut Walter Kaudern, pemakaman Tomampe yang
beragama Islam itu, dilaksanakan secara sederhana, hanya dihadiri tidak sampai
sepuluh orang. Bahkan mereka tidak dapat menyiapkan peti mati yang layak dan
berukir, sebagaimana biasanya dilakukan dalam pemakaman raja dan bangsawan.
Sebagai gantinya, peti jenazahnya berupa kotak yang terbuat dari papan dari
sebuah lemari tua. Sungguh bukan pemakaman ideal bagi seorang raja.
Belum diketahui langkah apa saja
yang dilakukan pemerintah kolonial di wilayah Sulteng, dalam menangani pandemi
flu Spanyol. Hanya saja menurut Ravando, Pemerintah Hindia Belanda cenderung
terlambat menangani dan membendung, agar wabah tidak meluas. Namun yang pasti,
pasca terjadinya pandemi flu Spanyol tahun 1918, terdapat upaya peningkatan
infrastruktur dan pelayanan kesehatan di wilayah Sulteng. Sejak 1920-an,
fasilitas kesehatan telah disediakan selain di Palu, yakni dalam bentuk
poliklinik daerah, melalui pos Bala Keselamatan di Rowiga, Kalawara, Bora,
Palolo, Lemo dan Kantewu. Demi kepentingan pos-pos ini, Pemerintah Hindia
Belanda pada tahun 1925 dan 1926 memberi bantuan dana sebesar 100 gulden per
pos, untuk membeli obat-obatan yang diperlukan. Kemudian ditempatkan pula
seorang petugas vaksin dalam dinas daerah, di seluruh onderafdeeling. Selain
itu, pemerintah kolonial juga menata dan mengatur perkampungan, agar lebih rapi
dan sehat. Bahkan tidak segan-segan memaksa seorang bangsawan tinggi di Sigi,
yang enggan memindahkan rumah ke tempat yang telah ditentukan. Sementara di
wilayah Poso menurut A.R. Tobondo, pandemi flu Spanyol tahun 1918 menjadi dasar
bagi pembangunan rumah sakit permanen di Tentena, pada tahun 1922, agar
pelayanan kesehatan lebih baik. Ini merupakan rumah sakit pertama di Sulteng.
Informasi terkait wabah dan
pandemi di masa lalu, baik dari sumber tertulis maupun lisan, seharunya dapat
menjadi rujukan bagi semua elemen, baik pemerintah maupun masyarakat, dalam
menyikapi wabah atau pandemi yang terjadi saat ini. Kisah-kisah tentang wabah
ini menunjukkan, ketidaktahuan dan kurangnya kesiapan dalam menghadapi wabah
penyakit yang datang, berpotensi mengorbankan masyarakat, dengan buruknya
langkah pencegahan dan penanganan. Hal serupa juga dialami Pemerintah Hindia
Belanda, yang berhadapan dengan beragam wabah, dan seringkali dibuat
kelimpungan, akibat tidak mempersiapkan pencegahan dan penanganan secara benar.
Semoga kita (baca: pemerintah), dapat belajar dari sejarah wabah dan pandemi
yang sudah terjadi berulang kali ini. Salah satunya dengan meningkatkan
kualitas infrastuktur, fasilitas dan pelayanan kesehatan di masa mendatang,
sama seperti yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda, usai mereka menghadapi
wabah dan pandemi. Kemudian, dengan belajar dari sejarah wabah dan pandemi ini,
masyarakat harus mulai menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti
yang dilakukan saat ini, mengantisipasi penyebaran virus Corona.
Komentar
Posting Komentar