Nompaura: Kearifan Lokal Hadapi Wabah Penyakit



Bagi masyarakat Kaili, wabah adalah cara alam dalam menyeimbangkan kembali tatanannya. Karenanya saat terjadi wabah, mereka akan segera melaksanakan ritual adat yang disebut sebagai Nompaura atau Pompaura. Ritual ini pada hakikatnya, dilaksanakan untuk mengembalikan keadaan seperti sedia kala.

Ritual Nompaura sendiri, tujuannya adalah memohon kepada Tuhan yang maha kuasa, agar dijauhkan dari marabahaya (bala), termasuk di dalamnya wabah penyakit. Ritual tersebut dipimpin oleh pemuka adat, dengan diiringi tetabuhan Gimba (gendang), disertai dengan syarat adat lainnya.

Surni Kadir, dalam artikelnya berjudul Pola Akulturasi Islam dan Budaya Pompoura Masyarakat Suku Kaili di Palu menjelaskan, Nompaura atau Pompaura, adalah salah satu budaya yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat Suku Kaili (pelaku adat), dalam rangka upacara tolak Bala’ yang mengandung arti menolak bahaya, malapetaka dan bencana yang akan terjadi, sedang terjadi dan telah terjadi untuk tidak terulang kembali. Menurutnya, pelaksanaan upacara adat Pompaura, adalah bentuk permohonan kepada Allah, dengan jalan bertawassul melalui roh-roh nenek moyang yang dianggap keramat, serta tempat-tempat yang dianggap keramat, sehingga dengan demikian setiap pelaksanaan upacara adat dengan simbol-simbol yang dilakukan, sebenarnya itu hanya kiasan saja, tetapi muara akhir dari permohonan mereka adalah kepada Allah SWT.

Salah satu jenis Pompaura yang kerap dilaksanakan adalah Pompaura Posunu Rumpu. Erna Dwi Lidiawati dalam artikelnya di Mongabay dengan judul Ritual Adat Pompaura Posunu Rumpu, Cara Suku Kaili Menjaga Lingkungan, menjelaskan, Pompaura dalam Bahasa Indonesia artinya mengembalikan, sedangkan Posunu artinya menggeser, menyingkirkan, atau membersihkan, dan Rumpu artinya kotoran. Pompaura Posunu Rumpu bisa diartikan menyingkirkan atau membersihkan kotoran dan mengembalikan kepada pemilik-Nya.

Baharuddin (74), salah seorang pemangku adat setempat, dalam tulisan tersebut menjelaskan, tujuannya dilakukan ritual adat ini untuk membersihkan kampung dari hal-hal buruk, tolak bala, tolak sial dan yang lainnya. Juga meminta hujan. Selain itu, katanya, dengan ritual adat tersebut, seluruh warga kampung memohon kepada Tuhan yang mahakuasa agar dihindarkan dan dilindungi dari berbagai bencana dan bahaya.

Ritual adat seperti ini kata dia, sudah lama ditinggalkan. Kalaupun ada yang melaksanakan, itu menurutnya hanya sebagian kecil saja. Padahal kata dia, dulu ritual adat Pompaura Posunu Rumpu dilaksanakan secara berurutan oleh setiap kampung, mulai dari komunitas yang bermukim di pegunungan sampai komunitas yang bermukim di lembah Palu.

Dalam tulisan tersebut, Makko (52), salah seorang tokoh adat atau biasa disebut tolanggara menjelaskan, prosesi ritual adat ini dimulai dengan memohon izin kepada Tuhan dan para leluhur, agar semua kegiatan berjalan lancar. Hal ini untuk  menghindarkan diri dari segala macam hal yang tidak diinginkan.

“Kalau kita tidak izin, yang ditakutkan nanti ada yang keteguran atau kemasukan roh jahat saat ritual adat dilaksanakan,” kata Makko.

Menurutnya, sesajen yang digunakan untuk memohon izin kepada sang pecipta dan para leluhur terdiri dari nasi ketan, satu butir telur ayam kampung yang sudah direbus, beras kuning dan sambulu gana. Sambulu gana menurut orang Palu merupakan satu rangkaian yang terdiri dari kapur, sirih pinang, gambir dan tembakau. Di Pulau Jawa biasanya dikenal dengan menginang.

Bagi masyarakat Kaili, Pompaura Posunu Rumpu merupakan salah satu ritual adat sakral yang penuh nilai-nilai spiritual. Mengawali prosesi ini, gimba atau gendang akan ditabuh. Penabuh gimba ini bisanya disebut bule. Tabuhan gendang ini juga bertujuan memanggil warga agar segera berkumpul di tempat pelaksanaan upacara. Tabuhan gendang yang khas ini bisa menggerakan warga untuk datang ke tempat pelaksanaan upacara adat.

Setelah warga berkumpul, barulah salah seorang tolanggara memercikan air dari mata air mebere kepada para warga. Air mebere yang dipercikan kepada warga ini menggunakan daun. Ritual ini disebut novemba.

Seorang tolanggara kemudian mengelilingi warga yang sudah berkumpul sebanyak tiga kali sambil memercikan air mebere. Ritual memercikan ini untuk mensucikan diri dan mengusir segala macam bentuk pengaruh buruk roh jahat.

Selanjutnya, sesajen yang telah siap akan diletakkan di sebuah pohon bernama vunja. Pohon vunja merupakan pohon yang dibuat dari rangkain janur kelapa yang diikat di sebuah pohon. Penganan berupa ketupat, jagung rebus dan sebagainya diikatkan di janur-janur tadi.

Dua hingga tiga orang akan memanjat pohon vunja tersebut dan menjatuhkan penganan yang diikat di janur ke kerumunan warga. Dengan iringan gendang, warga berebut mendapatkan penganan itu. Mereka berharap, ada berkah dari ritual adat ini, terlebih mereka telah mendapat percikan air mebere.

Pompaura juga dilaksanakan di wilayah lainnya, seperti di wilayah Kayumale, belasan kilometer arah utara Palu. Jefrianto dalam tulisan berjudul Upacara Adat Pompaura: Mengharap Berkah dan Keselamatan menjelaskan, pada hari pertama pelaksanaan Pompaura, para totua (tetua) adat mewarnai beras dengan empat warna yaitu merah, hijau, kuning, dan putih, yang disebut prosesi Noragi Ose. Beras empat warna ini dipercaya dapat menjadi penangkal kekuatan jahat yang hendak mengganggu kehidupan masyarakat. Beras empat warna ini merupakan simbolisasi dari empat unsur sumber kekuatan gaib.

Pada hari kedua, dilaksanakan upacara Nopatinda Tavanggayu, atau mendirikan tiang dari tujuh macam kayu. Dalam prosesi ini, tujuh macam kayu itu tidak hanya sekadar didirikan. Pada tempat yang akan ditancapkan kayu itu, terlebih dahulu ditempatkan lima macam benda yakni uang logam jaman dulu, paku, sirih, telur dan kemiri, untuk ditanam di tempat menancapkan kayu tersebut.

Pada hari ketiga yang merupakan puncak pelaksanaan prosesi adat Pompaura, sejumlah warga menyiapkan sebuah perahu (sakaya) berukuran 1 x 3 meter yang terbuat dari pelepah sagu. Perahu tersebut dihias sedemikian rupa dengan hiasan berbentuk burung atau yang biasa disebut tonji-tonji, yang terbuat dari janur kelapa. Tonji-tonji tersebut dipasang mengelilingi perahu. Tonji-tonji itu berfungsi sebagai media yang akan menyampaikan sesajian kepada ruh jahat, agar ruh tersebut tidak mengganggu masyarakat.

Pada malam sebelum perahu itu dihanyutkan ke laut, para tetua adat berkumpul di bantaya adat sambil menyenandungkan Baliore, sebuah kidung yang dipercaya sebagai berasal dari Ngapa (kampung) Uventira. Bagi masyarakat Suku Kaili yang bermukim di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong, Uventira yang terletak di kawasan jalan Trans Palu-Parigi (Kebun Kopi), diyakini sebagai sebuah kerajaan alam gaib. 

Baliore terus diyanyikan oleh para tetua adat yang telah dirasuki ruh para leluhur. Para tetua adat tersebut mengenakan pakaian berwarna kuning, yang merupakan warna yang melambangkan Ngapa Uventira. Senandung Baliore terus dinyanyikan untuk mengiringi sesajen yang telah disiapkan, untuk diletakkan di dalam perahu (sakaya pompaura).

Selanjutnya, setelah sesajen ditata di atas sakaya pompaura, sakaya tersebut kemudian dilarung di lepas pantai Kayumalue Pajeko pada dini hari. Pelepasan perahu berisi sesajen tersebut diiringi dengan pembacaan doa untuk memohon keselamatan serta dijauhkan dari bencana. Untuk memilih waktu pelepasan perahu itu ke laut, tidak dilakukan secara sembarang. Para tetua adat menunggu waktu yang tepat yaitu pada saat angin mengarah ke arah Ngapa Uventira.

Sejarah mencatat, terdapat wabah penyakit yang dahulu pernah melanda di Lembah Palu, yang disebut sebagai ‘Dua Datu’. Wabah yang merenggut banyak nyawa tersebut, menjadi momok yang menakutkan. Bahkan dikisahkan, dalam satu wilayah setiap hari ada saja yang meninggal sehingga ada beberapa tempat diyakini sebagai tempat pemakaman massal penderita ‘Dua Datu’.

Untuk itulah kemudian Nompaura atau Pompaura dilakukan, di mana di akhir ritual Nompaura, dilakukan pembakaran daun-daunan, yang terdiri dari daun Lalere (tapak kuda) dan daun Sidondo (Legundi). Kemudian asap dari pembakaran itu, akan dihirup oleh penderita dan masyarakat lainnya. Menurut kepercayaan masyarakat Suku Kaili, asap dari kedua daun tersebut, mampu melemahkan keganasan wabah ‘Dua Datu’. Setelah itu, umumnya masyarakat di Palu, akan meletakan Opi (ijuk) di pintu rumah mereka, sebagai penangkal datangnya ‘Dua Datu’.


Komentar

Postingan Populer